Bahkan, politisi asal PDIP ini justru berusaha mengalihkan persoalan dengan menyebut Ical, sebagai pengusaha yang bertanggung jawab, tidak bersalah secara hukum namun masih mau mengeluarkan uang triliunan rupiah.
“Coba, kalau Pak Ical itu pengusaha non-pri, pasti akan sudah kabur ke luar negeri, seperti kasus BLBI dulu. Justru kita beruntung, Pak Ical yang sangat hormat dan patuh pada ibundanya, masih mau bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada warga korban di area terdampak,” ujar Effendi.
Beberapa saat kemudian, ada salah satu media online yang memberitakan pernyataan Effendi Simbolon dengan judul, “Anak Buah Mega Bela Ical”. Seorang kawan, yang sehari-hari bekerja di Tim Ahli Komisi VII menceritakan, bahwa tidak heran bila Simbolon bersikap membela Ical.
Bahkan, menurutnya, pembelaan Simbolon dilakukan tidak saja pada kasus Lumpur Lapindo, tapi juga atas kasus-kasus yang melibatkan perusahaan pertambangan yang sahamnya dimiliki oleh keluarga Bakrie.
“Tidak heran, mas. Kasus Newmont di NTB juga, dia selalu tiarap tuh saat dibahas di Komisi VII. Dia memang vokal, cuma kemudian berubah menjadi datar saat berhadapan dengan kepentingan Bakrie,” ujarnya.
Abaikan Fakta, Konspirasi Itu Ada
Pertanyaan mengenai dimana letak konspirasi SBY-Bakrie di Lumpur Lapindo, pun terus muncul saat acara berangsung di Auditorium Fakultas Hukum, UGM, Yogyakarta, kemudian di Aula Barat, ITB, Bandung. Biasanya, pertanyaan tersebut diajukan oleh peserta diskusi yang diduga secara khusus sengaja diperintahkan untuk selalu hadir di acara diskusi buku oleh kelompok pendukung Bakrie.
Pemerhati sosial dan politik, sekaligus pengamat intelijen, Herman Ibrahim mengatakan dalam acara diskusi tersebut, bahwa indikasi adanya konspirasi antara SBY-Bakrie itu sangat jelas. Menurut mantan Kapendam Siliwangi ini, letak konspirasi itu terjadi ketika fakta-fakta bicara Lumpur Lapindo itu akibat kesalahan operasional, justru oleh pemerintahan SBY dibelokkan menjadi akibat bencana alam sesuai dengan yang dikehendaki oleh Bakrie.
Herman menambahkan, meskipun konspirasi itu sulit dibuktikan secara langsung, karena hampir tidak mungkin menangkap tangan para pelakunya, seperti yang dilakukan oleh KPK terhadap para tersangka korupsi, namun aroma konspirasi itu dapat dirasakan melalui sejumlah indikasi yang memperlihatkan adanya kejanggalan-kejanggalan dalam pengambilan kebijakan pemerintahan SBY terhadap kasus Lumpur Lapindo.
“Lha, bagaimana tidak terjadi konspirasi. Fakta-fakta teknikal jelas membuktikan adanya kesalahan operasional yang dilakukan oleh Lapindo, eh malah dibilang bencana alam. Ical sumbang SBY saat Pilpres 2004, kemudian dijadikannya sebagai Menko Perekonomian. Lantas, ketika Lumpur Lapindo itu terjadi, SBY tidak sampai hati, tidak bisa bersikap tegas terhadap Ical, meskipun SBY tahu apa yang sesungguhnya terjadi,” jelas Herman saat berbicara sebagai salah seorang pembahas diskusi buku di Aula Barat ITB.
Konspirasi itu, lanjut Herman, berlangsung hingga saat ini, dimana SBY tersandera oleh kasus yang melilitnya, yaitu skandal Bank Century, yang dilakukan beberapa bulan sebelum Pilpres 2009. Puncaknya, adalah ketika publik mengetahui belakangan, bahwa di sela gonjang-ganjing isu kenaikan BBM, konspirasi itu kembali muncul dengan adanya barter pasal siluman UU APBN-P 2012, antara pasal 7 ayat 6a tentang kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM dan pasal 18 ayat a,b,c tentang alokasi dana APBN untuk Lumpur Lapindo.
“Jadi, hampir tidak mungkin SBY mampu selesaikan Lumpur Lapindo sebagaimana dikehendaki oleh buku ini (Buku yang ditulis oleh Ali Azhar Akbar). Mengapa? Karena ada konspirasi kepentingan politik-ekonomi antara SBY dan Bakrie” tegas Herman.
Kesepakatan Bakrie dan Arifin Panigoro
Hal senada disampaikan oleh pengamat dari Glolal Future Institute, Hendrajit. Menurut Hendrajit, konspirasi itu terjadi bermula dari adanya kesepakatan antara Bakrie dan Arifin Panigoro (AP) di luar persidangan resmi pengadilan Arbitrases Internasional di New York, AS. Isinya adalah pihak Bakrie tidak lagi menuntut kewajiban AP (pemilik Medco) yang memiliki 32 persen saham di Lapindo, untuk membayar sebesar 1,4 juta dollar AS.
Merujuk pada dokumen Neils Adam, konsultan Medco yang menggugat Bakrie ke pengadilan Arbitrase Internasional, pihak Bakrie mengaku kalah atas argumentasi Medco yang menyebut Lumpur Lapindo sebagai akibat kesalahan teknisi Lapindo yang tidak memasang casing berdiameter 9 5/8 inchi pada kedalaman mencapai 8.500 kaki sesuai dengan saran teknisi Medco pada rapat teknik beberapa hari sebelumnya. Sebaliknya, pihak Medco berjanji tidak akan membuka kasus tersebut di ruang publik.
“Dari sinilah konspirasi itu bermula. Selanjutnya, oleh Bakrie dilakukanlah sejumlah rekayasa agar publik mengetahui kasus Lumpur Lapindo sebagai akibat bencana alam. Termasuk, rekayasa pendapat ahli geologi, rekayasa hukum dan rekayasa politik yang melibatkan pemerintah SBY,” jelas Hendrajit, saat menjadi salah seorang pembahas diskusi buku di Aula UNAS dan Aula Barat ITB.
SBY Berubah, Negara Ikut Biaya Lapindo
Sementara itu, penulis buku sendiri, Ali Azhar Akbar menjelaskan, bahwa konspirasi itu terletak pada adanya perubahan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas Lumpur Lapindo. Menurut Ali, dalam Keppres No. 13/2006 secara jelas menyebutkan siapa yang bertanggung jawab, termasuk yang harus mengeluarkan biaya untuk keperluan penanggulangan Lumpur Lapindo, yakni sepenuhnya adalah pihak Lapindo Brantas Inc.
Akan tetapi, lanjutnya, justru terjadi perubahan tanggung jawab setelah keluarnya Perpres No. 14/2007. Dalam Perpres yang dikeluarkan pada 8 April 2007 itu, secara jelas dinyatakan melalui Pasal 15, bahwa tanggung jawab pembiayaan dibagi dua, yaitu antara Lapindo (di area peta terdampak) dan negara, melalui APBN (di luar area peta terdampak).
“Negara ikut menanggung beban biaya yang diakibatkan oleh kesalahan korporasi, jelas merupakan indikasi kuat terjadinya konspirasi antara pemilik modal (Bakrie) dan pemegang kekuasaan (SBY),” jelas Ali saat tampil sebagai pembicara diskusi buku di Aula UNAS dan Auditorium FH, UGM.
Ali menambahkan, keluarnya Perpres No. 14/2007 itu justru terjadi sebelum adanya keputusan pemerintah sendiri mengenai apakah Lumpur Lapindo itu akibat bencana alam atau kesalahan operasional. Upaya legitimasi atas klaim bencana alam, justru dilakukan belakangan, melalui rekayasa pendapat ahli geologi, kemudian rekayasa hukum di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, serta rekayasa politik di DPR pada rapat paripurna tanggal 30 September 2009 yang menyetujui klaim bencana alam atas Lumpur Lapindo.
Ada Kejanggalan
Ali melihat ada kejanggalan yang sangat jelas. Pertama, jika Lumpur Lapindo itu dinyatakan sebagai bencana alam, maka seharusnya pemerintah mengacu pada UU Penanggulangan Bencana Alam. Antara lain, adalah bahwa pemerintah, dalam hal ini Presiden RI harus menyatakan secara eksplisit bahwa peristiwa Lumpur Lapindo adalah bencana alam.
Kedua, jika memang dinyatakan bencana alam, maka seharusnya seluruh biaya yang dibutuhkan untuk penanggulangan Lumpur Lapindo haruslah berasal dari negera sepenuhnya. Ketiga, tidak ada istilah area peta terdampak dan di luar peta terdampak dalam wilayah yang terkena bencana alam, sebagaimana halnya yang terjadi pada bencana Tsunami di Sceh, atau bencana gempa bumi di Yogyakarta.
Keikutsertaan pihak lain, terutama swasta dalam hal pembiayaan, hanyalah bersifat sukarela, bukan dipaksa untuk membayar, sebagaimana halnya yang terjadi atas Lapindo yang diwajibkan membayar ganti rugi di atas area peta terdampak.
“Masalahnya, hingga saat ini, Presiden SBY belum pernah secara resmi menyatakan Lumpur Lapindo sebagai bencana alam. Ini, hal yang patut dikritisi. Sementara itu, pembagian tanggung jawab pembiayaan Lumpur Lapindo antara negara dan Bakrie patut dicurigai sebagai bagian dari negosiasi politik. Transkrip rekaman percakapan SBY dengan perwakilan korban Lapindo di Cikeas, pada Juni 2007 adalah salah satu indikasi adanya negosiasi itu,” jelas Ali.
Bakrie, Kanan Kiri Ok
Tidak adanya pernyataan resmi dari presiden SBY mengenai status bencana alam Lumpur Lapindo, menurut Ali, merupakan unsur kesengajaan SBY yang luput dari perhatian publik. Jika status itu dinyatakan secara resmi, maka otomatis tidak ada kewajiban bagi Bakrie untuk membiayai sebagian dampak dari Lumpur lapindo. Ditambah lagi, dengan adanya status bencana alam secara resmi, maka pihak Asuransi Tugu Pratama akan membatalkan pembayaran klaim asuransi Lapindo sebesar 27,5 juta dollar AS pada tahun 2008 lalu.
“Dengan status Lumpur lapindo seperti itu, maka terjadilah kanan kiri oke. Bakrie memperoleh tambahan dana dari negara, juga dari asuransi,” ujar Ali.
Prinsip Strict Liability
Kalau konspirasi itu tidak terjadi, menurut Ali, seharusnya pemerintah menggunakan UU tentang Perlindungan Lingkungan Hidup. Faktanya, lanjut Ali, Lumpur Lapindo telah jelas merusak lingkungan yang telah merugikan dalam tingkatan yang sangat luar biasa, sehingga warga korban terpaksa harus meninggalkan rumah dan lahan yang dimilikinya untuk selamanya.
Berdasarkan UU Lingkungan, maka seharusnya pemerintah segera bersikap tegas dan memaksa pihak Bakrie untuk membiayai seluruh penanggulangan akibat Lumpur Lapindo. Dalam UU ini, berlaku prinsip strict liability, dimana pihak Lapindo harus bertanggung jawab penuh atas seluruh biaya yang dikeluarkan. Tugas negara, adalah mengawasi dan memastikan agar tanggung jawab Lapindo itu dilaksanakan sepenuhnya.
Agar Lapindo mau melaksanakan tanggung jawab sepenuhnya, maka negara haruslah bersifat menekan atau memaksa, antara lain dengan cara menyita seluru aset Lapindo, dan aset pemilik saham Lapindo, hingga Lumpur Lapindo benar-benar tertanggulangi sepenuhnya. Ali mencontohkan kasus minyak British Petroleum (BP) yang tumpah di Teluk Meksiko, AS pada tahun 2010. Dengan sikap yang tegas dan segera dari presiden Barack Obama, antara lain mengancam akan membekukan seluruh aset milik BP, maka perusahaan yang berbasis di Inggris itu akhirnya mau membiayai seluruh operasi penanggulangan kerusakan lingkungan.
Pertanyaannya, mengapa SBY tidak bisa melakukan hal yang serupa, bahkan hingga kini, ketika contoh itu sudah jelas-jelas ada? Ali Akbar secara tegas mengatakan, justru di situlah terletak adanya konspirasi SBY-Bakrie. Ia menambahkan, seharusnya, uang APBN yang sekerang sudah dikeluarkan lebih dari Rp 7,1 triliun ditagihkan secara paksa kepada Bakrie untuk melunasi.
No comments:
Post a Comment